Pengertian Dan Tingkatan Ma'rifat Menurut Imam Al-Ghazali
Ma'rifat berasal dari kata. "ara fa" yang artinya: mengenal. Menurut "Imam Al-Ghazali", arti pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul kerana musyahadah (penyaksian).
Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af'al Allah dengan perantaraan musyahadahnya (penyaksian/bukti yang nyata).
Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadahnya, namun hanya dengan kepercayaan biasa saja.
Orang yang tingkat Ma'rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata.
Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi dan yang paling utama. Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma'rifat, bagi mereka Allah itu memang tiada terwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah.Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma'rifat bernama "Hallaj" mengartikan dalam beberapa pepatah sebagai berikut:
"Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya". "Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri".
"Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya"."Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkankarunia-Nya"."Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya".
Dengan demikian, berma'rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap Allah, Tuhan semesta alam sehingga mencapai "Isbatulyaqin" iaitu yakin yang seyakin-yakinnya setelah adanya pembuktian nyata. Bagi para pengikut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu:
Ma'rifat
Hakikat
Tarikat
Syariat
Keterangan:
Marifat : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam mengesakan Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah (Sembah Sukma)
Hakikat : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesedaran Mental melihat pada Dimensi-dimensi Atasan (Budi Luhur), (Sembah jiwa/Rasa).
Tarikat :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syariat, yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syariat. Kesedaran Mental melihat pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah Sadar), (Sembah Cipta).
Syariat : Pengetahuan terhadap jalan-jalan menuju kepada Allah. Kesedaran Berperilaku Hidup Sehari-hari yang melihat kepada Norma-norma Budaya/Agama/Hukum dan Aturan-aturan Sosial, Lingkungan yang berlaku, (Sembah Raga).
Syari'at tingkat Wajjibulyaqin
Tarikat tingkat Ainulyakin.
Hakikat tingkat flaqquiyaqin.
Ma'rifat tingkat Isbatulyaqin
Pertama sekali Imam Al-Ghazali bangkit dengan menjelaskan tentang hakikat hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt, Sang Maha Pencipta sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 21 yaitu: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.(QS.Al-Baqarah:21).
Tidak mungkin terjadi penyembahan kepada sesuatu yang belum dikenal, maka rasa mengenal Allah sering dikenal dengan sebutan ma’rifatullah, yang mempunyai erti senantiasa taat kepada Allah Swt. Dan menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Mengenal Allah adalah tujuan yang paling tinggi dari semua tingkatan dan merupakan puncak tertinggi dari tingkat pendakian jiwa, tidak ada lagi tingkatan sesudahnya kecuali hanya buah-buah dari cinta kepada-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah Swt, supaya mereka mau taat dan mengabdi kepada-Nya. Dan Dia menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya adalah untuk makhluk semua, artinya manfaat sebesar-besarnya adalah untuk makhluk itu sendiri.
“Mencintai Allah merupakan petanda bahwa hatinya hidup, merupakan makanan hati, tidak ada kenikmatan dan kelazatan di dunia ini tanpa adanya ma’rifatullah kepada sang Khaliq yaitu Allah Swt”.
Orang yang memperoleh ma’rifat, tidak sama dengan orang yang tidak memperolehnya. Ada tanda-tanda tertentu dari orang yang memperoleh ma’rifat, tanda-tanda seseorang yang sudah menjadi ‘arif adalah : “Sesungguhnya ada tiga, cahaya al-ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, dia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusakkan hukum alam dan banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan”.
Seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun dan semakin dekat serta menyatu kepada Allah.
“Adapun Ma’rifatullah menurut konsep Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Allah sedekat-dekatnya yang di awali dengan penyucian jiwa dan berzikir kepada Allah secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Allah dengan hati nuraninya”.
Imam Al-Ghazali dalam buku Keajaiban Hati menjelaskan; “kemuliaan dan kelebihan manusia atas semua makhluk lain karena manusia diciptakan ke dunia ini untuk berma’rifat kepada Allah, sebagai kesempurnaannya di Akhirat nantinya. Untuk berma’rifat kepada Allah Swt manusia haruslah membersihkan diri dan hatinya, keadaan itu semua manusia akan dapat kemudahan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tingkatan ma'rifatullah menurut Al-Ghazali bertahap sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Kerana itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
Imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil. Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
Imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin
Dalam pandangan Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengenal Allah, tidak ada yang wujud selain Allah dan Perbuatan Allah. Menurut Al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. Ma’rifat adalah ilmu yang tanpa keraguan ketika objek ilmu itu adalah Allah dan sifatNya. Dalam ungkapan lain, ma’rifat menurut Al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain ke-Esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka. Perjalanan seseorang menuju ma’rifat bermula dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi dalamanya dalam bentuk maqam (tempat berdiri / kedudukan), Keyakinan seseorang mengisyaratkan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, syurga dan neraka. Setelah keyakinan ini seseorang naik kepada tahap berikutnya yaitu khauf dan raja’.
Berikutnya tahap Sabar, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap unsur (intim/sukacita). Tafakkur membawa kepada sempurnannya ma’rifat. Sempurnanya ma’rifat dan unsur menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan seseorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya (tawakkal).
“Ma’rifat hakiki terdapat dalam maqam ru’yat wa al–musyahadah bi sirr al-qalb(مقام رؤية والمشاهدة بسر القلب). Orang yang ber ma’rifat melihat sekadar hanya untuk mengetahui. Kerana ma’rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah hanya membuka sebahagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali–Nya”. Tanda adanya ma’rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya tidak di jumpai tempat yg lain selain hanya untuk Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma’rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran.
Potret dan contoh yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat, sebagaimana dicontohkan oleh Al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja’far Al Shadiq. “Ketika Ali ditanya oleh seseorang, “Wahai Amir al-Mu’minin, apakah engkau menyembah sesuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?”, Ali menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah Dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku”.
Demikian juga ketika Ja’far al-Shadiq r.a. ditanya “Apakah engkau melihat Allah ?”, ia menjawab, “Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat”. Lalu ia ditanya lagi, “Bagaimana engkau dapat melihatnya padahal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh penglihatan”. Ja’far Shadiq menegaskan, “Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pancaindera dan dipersamakan dengan manusia”.
Dalam pandangan Al-Ghazali, rahasia serta “roh” yang terkandung dalam ma’rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat kalam Allah dari penyerupaan.
Ma'rifat berasal dari kata. "ara fa" yang artinya: mengenal. Menurut "Imam Al-Ghazali", arti pengenalan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yaitu yang timbul kerana musyahadah (penyaksian).
Maka orang arif ialah orang yang telah mengenal Dzat, sifat, asma, dan af'al Allah dengan perantaraan musyahadahnya (penyaksian/bukti yang nyata).
Seorang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadahnya, namun hanya dengan kepercayaan biasa saja.
Orang yang tingkat Ma'rifatnya tinggi tentu akan melihat bahwa Allah adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan teramat nyata.
Oleh karena itu Allah dalam pandangan mereka itu jelas dan nyata, maka menyebabkan adanya proses pengenalan terhadap-Nya menjadi ilmu yang tertinggi dan yang paling utama. Berbeda dengan orang awam, yang belum mencapai tingkat Ma'rifat, bagi mereka Allah itu memang tiada terwujud atau tidak bisa dipandang melalui pandangan lahiriah.Adapun pengertian menurut seorang ahli Ma'rifat bernama "Hallaj" mengartikan dalam beberapa pepatah sebagai berikut:
"Tak seorang-pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya". "Tak seorang-pun bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati-nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri".
"Tak seorang-pun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya"."Tak seorang-pun mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkankarunia-Nya"."Tak seorang pun berbakti pada-Nya kecuali orang yang telah dipilih-Nya".
Dengan demikian, berma'rifatullah menjadikan kita semakin mantap keyakinannya, semakin teguh keimanannya dan semakin besar taqwa kita terhadap Allah, Tuhan semesta alam sehingga mencapai "Isbatulyaqin" iaitu yakin yang seyakin-yakinnya setelah adanya pembuktian nyata. Bagi para pengikut Nabi Muhammad saw. tingkat pelajaran dibagi 4 (empat) tingkatan yaitu:
Ma'rifat
Hakikat
Tarikat
Syariat
Keterangan:
Marifat : Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam mengesakan Allah. Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah (Sembah Sukma)
Hakikat : Pandangan yang terus menerus kepada Allah. Kesedaran Mental melihat pada Dimensi-dimensi Atasan (Budi Luhur), (Sembah jiwa/Rasa).
Tarikat :Berjalan menurut ketentuan-ketentuan syariat, yakni berbuat sesuai dengan yang diatur oleh syariat. Kesedaran Mental melihat pada Dimensi-dimensi Bawahan (Bawah Sadar), (Sembah Cipta).
Syariat : Pengetahuan terhadap jalan-jalan menuju kepada Allah. Kesedaran Berperilaku Hidup Sehari-hari yang melihat kepada Norma-norma Budaya/Agama/Hukum dan Aturan-aturan Sosial, Lingkungan yang berlaku, (Sembah Raga).
Syari'at tingkat Wajjibulyaqin
Tarikat tingkat Ainulyakin.
Hakikat tingkat flaqquiyaqin.
Ma'rifat tingkat Isbatulyaqin
Pertama sekali Imam Al-Ghazali bangkit dengan menjelaskan tentang hakikat hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt, Sang Maha Pencipta sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 21 yaitu: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.(QS.Al-Baqarah:21).
Tidak mungkin terjadi penyembahan kepada sesuatu yang belum dikenal, maka rasa mengenal Allah sering dikenal dengan sebutan ma’rifatullah, yang mempunyai erti senantiasa taat kepada Allah Swt. Dan menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Mengenal Allah adalah tujuan yang paling tinggi dari semua tingkatan dan merupakan puncak tertinggi dari tingkat pendakian jiwa, tidak ada lagi tingkatan sesudahnya kecuali hanya buah-buah dari cinta kepada-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah Swt, supaya mereka mau taat dan mengabdi kepada-Nya. Dan Dia menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya adalah untuk makhluk semua, artinya manfaat sebesar-besarnya adalah untuk makhluk itu sendiri.
“Mencintai Allah merupakan petanda bahwa hatinya hidup, merupakan makanan hati, tidak ada kenikmatan dan kelazatan di dunia ini tanpa adanya ma’rifatullah kepada sang Khaliq yaitu Allah Swt”.
Orang yang memperoleh ma’rifat, tidak sama dengan orang yang tidak memperolehnya. Ada tanda-tanda tertentu dari orang yang memperoleh ma’rifat, tanda-tanda seseorang yang sudah menjadi ‘arif adalah : “Sesungguhnya ada tiga, cahaya al-ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, dia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusakkan hukum alam dan banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan”.
Seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun dan semakin dekat serta menyatu kepada Allah.
“Adapun Ma’rifatullah menurut konsep Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Allah sedekat-dekatnya yang di awali dengan penyucian jiwa dan berzikir kepada Allah secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Allah dengan hati nuraninya”.
Imam Al-Ghazali dalam buku Keajaiban Hati menjelaskan; “kemuliaan dan kelebihan manusia atas semua makhluk lain karena manusia diciptakan ke dunia ini untuk berma’rifat kepada Allah, sebagai kesempurnaannya di Akhirat nantinya. Untuk berma’rifat kepada Allah Swt manusia haruslah membersihkan diri dan hatinya, keadaan itu semua manusia akan dapat kemudahan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tingkatan ma'rifatullah menurut Al-Ghazali bertahap sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Kerana itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
Imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil. Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.
Imannya para arifin (sufi) atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin
Dalam pandangan Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengenal Allah, tidak ada yang wujud selain Allah dan Perbuatan Allah. Menurut Al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. Ma’rifat adalah ilmu yang tanpa keraguan ketika objek ilmu itu adalah Allah dan sifatNya. Dalam ungkapan lain, ma’rifat menurut Al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain ke-Esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka. Perjalanan seseorang menuju ma’rifat bermula dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi dalamanya dalam bentuk maqam (tempat berdiri / kedudukan), Keyakinan seseorang mengisyaratkan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, syurga dan neraka. Setelah keyakinan ini seseorang naik kepada tahap berikutnya yaitu khauf dan raja’.
Berikutnya tahap Sabar, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap unsur (intim/sukacita). Tafakkur membawa kepada sempurnannya ma’rifat. Sempurnanya ma’rifat dan unsur menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan seseorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya (tawakkal).
“Ma’rifat hakiki terdapat dalam maqam ru’yat wa al–musyahadah bi sirr al-qalb(مقام رؤية والمشاهدة بسر القلب). Orang yang ber ma’rifat melihat sekadar hanya untuk mengetahui. Kerana ma’rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah hanya membuka sebahagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali–Nya”. Tanda adanya ma’rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya tidak di jumpai tempat yg lain selain hanya untuk Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma’rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran.
Potret dan contoh yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat, sebagaimana dicontohkan oleh Al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja’far Al Shadiq. “Ketika Ali ditanya oleh seseorang, “Wahai Amir al-Mu’minin, apakah engkau menyembah sesuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?”, Ali menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah Dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku”.
Demikian juga ketika Ja’far al-Shadiq r.a. ditanya “Apakah engkau melihat Allah ?”, ia menjawab, “Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat”. Lalu ia ditanya lagi, “Bagaimana engkau dapat melihatnya padahal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh penglihatan”. Ja’far Shadiq menegaskan, “Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pancaindera dan dipersamakan dengan manusia”.
Dalam pandangan Al-Ghazali, rahasia serta “roh” yang terkandung dalam ma’rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat kalam Allah dari penyerupaan.
Salam.. semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar